November 2017

Senin, 20 November 2017

The Journey; Pergi, bahagia, pulang.




Beberapa waktu lalu bareng Gilang iseng mampir ke toko buku, karna udah lama banget nggaada bacaan baru dirumah. Setelah keliling-keliling dan membaca berbagai sinopsis yang ada dibagian belakang beragam buku yang ada disana. Akhirnya, pilihan aku dan Gilang jatuh pada buku bersampul cokelat dengan judul The Journeys 3. Ini bukan buku baru. Buku ini pertama kali cetak tahun 2013, dan ini juga udah seri ketiga-nya.

Awalnya aku pikir ini adalah novel yang isinya ngga jauh dari probematika anak remaja tanggung yang mengisahkan perjalanan hidup objek yang jadi pemeran utamanya dalam urusan cinta dan pencarian jati diri. Tapi ternyata, aku SALAH BESAR. Buku garapan beberapa blog-traveller ini berisi jauh lebih penting dan jauh lebih bermakna ketimbang itu. Judulnya The Journey benar-benar diartikan dalam artian yang sesungguhnya. Iya, perjalanan.

Buku ini berisi tentang kumpulan cerita dari para bloger-bloger pro melakukan perjalanan. Mulai dari perjalanan sekedar pulang kekampung halaman, perjalanan karna tuntutan kerjaan, perjalanan liburan bahkan perjalanan tak berujung. Ada cerita perjalanan dari blog-traveler Husni Mubarak ke zambia. Tentang bagaimana ia melakukan perjalanan menantang nyali, mencoba hal baru yang diluar batas beraninya. Ada juga cerita dari Dina, yang nekat melepas apartmenetnya untuk lebih menikmati bebas yang dekat dengan alam bersama sang suami, Ryan. Kalau penasaran bagaimana ia bertahan hidup nomaden dinegara orang tanpa rumah, dan berbagai tips keliling dunia dengan budged munumalis, boleh cek blog-nya di www.duaransel.com

Dari sekian banyak cerita yang disuguhkan The Journeys 3, menurutku yang paling menyentuh hati adalah cerita dari Hanny kusumawati yang melakukan perjalanan ke Santorini. Tulisannya bener-bener membuat pembaca penasaran dan jadi pengen banget traveling kesana juga. Menikmati Golden Sunset, Mengunjungi Oia, bermain di Red Beach, berjalan melewati anak tangga yang ada disepanjang tebing dan berinteraksi dengan penduduk asli setempat yang terkenal ramah.

Setelah selesai membaca buku ini, rasanya pengen banget jadi kayak mereka. Melakukan perjalanan ketempat asing, merasakan hidup dinegara orang yang tradisi, budaya dan kulinernya berbeda. Tak hanya itu saja, mereka bahkan bisa menemukan arti lain dari kehidupan dalam perjalanan mereka. Mendapatkan kedamaian dalam atmosfer yang berbeda. Mendapatkan makna kebahagiaan dari persfektif yang berbeda, bahkan bahagia bisa didapat dengan cara yang amat sederhana.

Tapi setelah diflashback kebeberapa waktu belakangan ini, kehidupanku hanya habis disini-sini saja. Menjalani rutinitas yang sama dan itu-itu saja. Perjalanan yang kulakukan cuma perjalanan dari rumah kekantor-kantor kerumah. Sempat beberapa kali merencanakan perjalanan bareng temen keluar kota, tapi berakhir sebagai wacana hanya karna alasan klasik, seperti: ngga ada waktu yang pas, kerjaan yang menumpuk, dan faktor ekonomi yang kurang mendukung.

Membaca bagaimana mereka, para penulis, ini bisa mencapai satu tempat dan menikmati kedamaian serta mendapatkan kebahagiaan disana, aku langsung merasa kalo hidup aku ini hambar banget. Kurang piknik!

Perjalanan paling jauh yang pernah kutempuh baru sampai Jogjakarta, sekitar tahun 2015 lalu bareng temen kantorku. Dan memang harus diakui, pertama kali menginjakan kaki dikota orang itu, suasananya beda. Kebahagiaan yang dirasakan selama 3 hari disana pun terasa begitu sederhana. Bisa naik sampe keatas borobudur dan menikmati pemandangan Magelang dari atas itu sudah bahagia. Padahal kaki lecet sampe berdarah-darah. Jalan kaki keliling Malioboro bukannya capek, malah kesenengan. Nyobain naik delman, bahagianya luar biasa. Karna seumur-umur belum pernah naik delman yang ditarik kuda beneran gitu. Bangun subuh-subuh, menghirup udara yang masih berkabut didaerah Kaliurang, bahagianya pol. Padahal biasanya baru bangun tidur kalo matahari udah tinggi diatas kepala. Keliling alun-alun kidul sampe jam 2 pagi, juga dijabanin. Ngantuknya ngga berasa sangkin bahagianya. Diajak offroad naik jeep sampe ke gunung merapi pagi-pagi, bahagianya tak terkira walaupun belum mandi dan masih pake baju tidur. Segala bahagia yang terasa sesederhana itu.

Antrinya sampe 2 jam buat foto disini doang
Setelah perjalanan ke Jogja itu, pernah sih menyempatkan diri pergi kebeberapa tempat buat sekedar merefresh pikiran yang udah muak sama kerjaan. Seperti one day trip ke Singapur dan Treasure Bay Bintan. Tapi tau sendiri kan kalo one day trip, dalam sehari diburu buat mengunjungi semua tempat yang ada. Akhirnya bukan dapet kesan bahagianya, pulang-pulang malah kecapekan dan kehabisan duit karna kalap beli ini itu yang ngga penting disana.

Sebenarnya dalam perjalanan, yang penting itu bukan seberapa banyak tempat yang dikunjungi, berapa banyak fot yang diabadikan, bukan berapa koper oleh-oleh yang dibawa pulang, tapi seberapa besar makna yang didapat dari perjalanan itu sendiri. Perjalanan itu seni. Dan seni itu harus dinikmati untuk mendapatkan apa yang ada dibaliknya, makna apa yang terkandung didalamnya.
Tak peduli jauh atau dekat.
Tak peduli cepat atau lambat.

Seperti kutipan kata yang kuingat, “ada saatnya seseorang berangkat dan ada saatnya seseorang harus pulang. Dan di antara keduanya adalah perjalanan” – Keumala (2012).
Dari setiap perjalanan, pasti akan berakhir sama; pulang.
Pulang kemanapun, atau siapapun yang bisa menjadi tempat merebah  dan melepas lelah. Tempat beristirahat sambil mempersiapkan akan kemana perjalanan selanjutnya.
Dan arti pulang bagiku adalah dimana saja, asal ada kamu.



Jumat, 10 November 2017

Tulisan #duaratusdelapanbelashari



Hai Tuan yang entah mengapa selalu kurindu, aku hanya ingin menyapamu, mengingatkanmu tentang dua ratus delapan belas hari kebersamaan kita. Sejak saat kamu tanyakan aku untuk menjadi teman hidupku, segala yang ada dihidupku, berubah arah kepadamu. Bahagiaku, hanya jika ada dirimu. Cita-citaku, hanya agar bisa hidup bersamamu. Senyumku, hanya jika aku menatap mata teduhmu. Tawaku, hanya jika mendengar suara beratmu.

Aku ingin kamu tahu, kamu adalah orang yang sangat aku hargai keberadaannya, yang aku tunggu pesan singkatnya dan yang aku rindukan kehadirannya. Kamu, penyemangatku melewati hari-hari, bahkan yang terberat sekalipun. Sumber satu-satunya segala tulisanku bisa tercipta. Sebegitunya? Iya. Begitulah.

Kamu teman malamku. Ketika mata kecilku ini menolak untuk dipejamkan, segera segala angan tentangmu memenuhi otakku. Hari-hari yang kita jalani, segalanya yang kita lewati, seperti film yang terputar ulang dikelopak mataku. Kata-kata dan segala janji yang pernah kamu ucapkan, seperti dongeng yang mendayu. Momen tak hanya sekedar lewat, tapi meninggalkan jejak. Wajah yang meninggalkan nama, interaksi yang meninggalkan koneksi, juga setiap kesan yang meningalkan kenangan. Dan kita? Kita tersimpan dalam banyak ingatan. Demi Tuhan, Tuan, berjanjilah itu bukan hayalku saja.

Kamu mentari pagi pembakar semangatku. Saat hari terasa begitu berat bagiku untuk dilewati, bayangan hidup bahagia bersamamu yang menyadarkanku. Seperti mendapat tenaga ekstra, bayangan tawamu bisa membuatku mengalahkan rasa muakku pada rutinitas kerja yang membosankan. Satu kata janji untuk segera bertemu, bisa membakar beribu-ribu semangatku untuk segera menyelesaikan segala urusan pada hari itu. Jangan akhiri ini Tuan, tak bisa kubayangkan apa jadinya jika tak ada lagi kata janji itu.

Kamu satu-satunya permintaan pada pukul 11:11-ku. Iya, hanya kamu yang kuminta. Percayalah, tak perlu kamu bertanya padaku seberapa besar rasa yang ada untumu. Tanyakan pada Tuhan. Kurasa dia sudah bosan mendengar selipan namamu dalam doaku. Kebaikan bagimu, kemudahan untukmu, kelancaran segala urusanmu, sudah menjadi kata-kata wajib tiap kali aku menghadap-Nya. Aku tak banyak meminta. Hanya agar aku menjadi seorang yang pantas mendampingimu menghabisi sisa usia.

Sejak dua april lalu, ruang didalam hatiku terbuka. Ruang dimana AKU dan KAMU menjelma menjadi kita. Ruang dimana yang ada hanya kita berdua. Ruang dimana tak ada orang lain yang bisa menatapmu lebih dalam kecuali aku. Ruang dimana aku bisa merasakan masa depan kita terasa begitu dekat, begitu nyata.

Tuan, bukan tak pernah hatiku tergores karnamu. Bukan tak sering air mata ini menetes karna ulahmu. Sering perkelahian terjadi menyelingi cerita kita, tapi tak sedikitpun itu mengurangi rasaku untuk tetap bersamamu. Sering aku merasa tak pantas berada didekatmu, tapi dengan berbagai cara kamu selalu bisa kembali meyakinkanku, bahwa kamu pantas untuk ku pertahankan.

Aku harap segala rasa bahagia yang aku rasakan ini mejadi bahagiamu juga.

Terima kasih Tuan, untuk dua ratus delapan belas harinya, untuk beratus-ratus kebaikannya, untuk beribu-ribu rasa cintanya.

Terima kasih, untuk segala sabar menghadapiku, segala maklum memaafkanku, segala amarah demi kebaikanku.

Sebaik-baiknya aku, adalah lebih baik kamu yang sudah membuatku menjadi lebih baik.

Ini bahagiaku, jika kamu ingin tahu. Bahagia ketika menemukan seseorang yang karna sebabnya aku menjadi seseorang yang lebih baik lagi.

Terima kasih.